
Hi Kolega sira imi rona knanauk Virgem ka lae ? hau espera imi rona hotu ona, nee ida mos maka hau. maibe kolega balun mos gosta hela iha Kost Virgem, husu took Fitun Cs, sira hetan ka lae buat Virgem nee, hehehehehe nee ida mos o, susar atu hetan. se buka sira iha Kost primitif nee ida mos maka ita hotu atu Lee deit Istoria badak ka iha lian Melayu dehan Cerpen. yuk ita lee deit took istoria nee.
SANG PERAWAN Cerpen: Endah NJ
Udara pagi mulai menyusup melalui ventilasi kamar yang berdebu dan mulai usang dimakan usia, membangunkannya yang tertidur lelap karena kelelahan. Kelelahan yang bukan karena menghadapi pekerjaan yang menumpuk, tapi juga kelelahan menghadapi hidup yang semakin hari semakin menyiksanya.
Suci menyibakkan selimut kemudian bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Dibukanya jendela kamar yang akan selalu berderit setiap kali Ia mendorongnya keluar. Udara pagi yang dingin langsung menyambutnya, membuat rasa kantuk yang masih tersisa hilang sama sekali, dilahap dinginnya pagi yang tidak akan pernah lagi membiarkannya menarik selimut lebih lama lagi.
Kehidupan memang telah berubah. Tapi baginya tidaklah menjadi lebih baik. Satu tahun sesudah wafatnya Bapak membuatnya semakin menyadari bahwa Ia bukanlah apa-apa didunia ini. Dulu, ia mungkin bisa berbangga diri dengan status sosial yang ia miliki, anak seorang anggota dewan propinsi. Bukan hanya itu, bapaknya juga merupakan satu-satunya orang yang disegani di desanya, desa Melati. Karenanya, ia bisa berbangga diri dengan berpikir bahwa kehidupan ini terlalu mudah untuk dijalani, dengan segalanya yang bisa dengan mudah didapat.
Namun nasib baik tidak selalu selamanya berpihak pada seseorang. Bapak meninggal disaat-saat yang tidak terduga, ketika semuanya bergembira menyambut penikahan Suci yang tinggal empat hari lagi. Bapak terkena serangan jantung mendadak, dan tangispun meledak dimana-mana.
Saat itu pun airmata Suci hampir-hampir tak keluar. Sampai akhirnya ia paksakan supaya mau menetes meski hanya beberapa butir saja. Keadaan terlalu menyiksanya saat itu. Tangan dan kakinya gemetar. Suara tangis orang-orang kemudian terdengar sayup-sayup. Orang-orang mulai menghujaminya dengan tatapan iba sampai akhirnya dua tangan menangkap tubuhnya sebelum terjatuh tak sadarkan diri.
Pernikahan pun akhirnya tak pernah terjadi selamanya. Satu-satunya laki-laki yang mencintanya dan bersedia untuk menikahinya tiba-tiba pergi entah kemana. Laki-laki itu bernama Aman. Dua hari setelah wafatnya Bapak, keluarga Aman datang untuk berbela sungkawa dan menyatakan membatalkan rencana perkawinan Aman dengan Suci. Mereka beralasan tidak ingin menyusahkan Suci dan keluarga dengan biaya-biaya menjelang pernikahan ditambah biaya pengurusan zenazah dan tahlilan Bapak yang besar-besaran. “Itu terlalu tidak masuk akal!” pikirnya. Suci memang terluka karena meninggalnya Bapak. Dia dan keluarga juga sedang dalam keadaan berbela sungkawa saat itu. Tapi tak pernah terpikir olehnya untuk membatalkan pernikahannya dengan Aman. Satu-satunya laki-laki yang mau menikahinya. Yang ia mau saat itu hanya menunda pernikahan jika memang mungkin.
Memang tidak dapat dibantah, jika biaya pemakaman dan tahlilan Bapak memakan biaya yang tidak sedikit. Rekan-rekan Bapak yang sama-sama duduk di pemerintahan memang datang berbelasungkawa dan menyelipkan uang dalam sebuah amplop dengan hiasan pinggir berwarna merah biru kepada Ibu sebelum berpamitan. Jumlah uang itu tidak terlalu besar. Tapi akan menjadi paling besar jika dibandingakn dengan uang dari para tetangga yang melayat. Semua uang itu digunakan untuk acara pemakaman dan tahlilan Bapak.
Ah, Bapak…Bapak, beliau memang tidak meninggalkan harta yang berlimpah walaupun seorang pegawai pemerintahan. Beliau masyhur bukan sebagai seorang konglomerat dan tuan tanah, namun karena dedikasi dan pengabdiannya yang tinggi pada masyarakat. Hal itulah yang membuat orang-orang bersimpati padanya. Satu yang selalu Bapak ingatkan kepada anak-anaknya adalah “tuntutlah ilmu setinggi mungkin, karena dengan ilmu manusia menjadi kaya.”
Satu-satunya alasan Aman yang terbersit dan paling masuk akal dalam pikiran Suci saat itu adalah karena Aman tidak benar-benar mencintainya. Atau jangan…jangan, Aman sama sekali tidak pernah mencintainya! Mungkinkah Aman mau menikahinya hanya karena Suci anak seorang anggota dewan propinsi yang terkenal jujur dan disegani? Oh! Tentu saja itulah alasan yang sesungguhnya! Dengan menikahi Suci, status sosial Aman dan keluarganya yang hanya pedagang kelontongan tentu saja akan terangkat, karena menjadi menantu dan besan Ahmad Fatah Masyhur, seorang pegawai pemerintahan yang terkenal.
Dan kini bapaknya sudah mati! Tidak ada lagi sesuatu yang bisa dibanggakan dengan menikahi seorang Suci. Kematian Bapak telah meninggalkan luka bagi siapapun yang ingin mereguk nikmatnya bernaung, dibawah ketiak seorang pegawai pemerintahan yang selalu terkesan kaya raya dan terhormat. Suci kini seperti terpental ke dunia lain yang sama sekali tak dikenalnya. Keadaan telah berubah seratus delapan puluh derajat. Kini Ia memiliki status baru, seorang anak yatim! Adakah sebuah kebanggaan ketika kata itu diucapkan? Tentu saja tidak! Bahkan jika kata itu diberi keterangan Ahmad Fatah Masyhur, tetap saja membuat batin Suci tersayat. Ahmad Fatah Masyhur tinggallah sebuah nama diatas sebuah batu nisan, dan tidak ada seorangpun mau meliriknya lagi.
Suci terdiam kaku menahan kemarahan dan kesedihan yang bercampur. Ia tidak ingin mengeluarkan airmata lagi. Ini terlalu nista baginya. Penopang hidup dan belahan jiwanya pergi satu-persatu, membuatnya seperti dikubur hidup-hidup dan dipaksa untuk mati karena ia ternyata tak bernilai apa-apa.
Sejak saat itu, kehidupan barunya mulai. Status sosial yang pernah melekat dalam diri seorang Suci pudar dengan sendirinya dimata orang-orang. Orang-orang mulai melupakan siapa itu Suci dan status sosial yang disandangnya, anak seorang pegawai pemerintahan. Ya, itulah kehidupan, tidak selamanya menyenangkan.
Kini Suci harus banting tulang menghidupi Ibu yang kondisinya semakin memburuk sepeninggal Bapak dan kedua adiknya yang masih SMP. Izajah Sarjana Sastra yang diperolehnya di sebuah Universitas swasta tidak banyak membantu ketika ia melamar pekerjaan. Sehingga ia pun hanya menjadi seorang karyawan di sebuah kantor penerbitan kecil di sudut kota dengan gaji yang pas-pasan.
Keadaan ini sama sekali tidak menguntungkan baginya. Walaupun harus lembur tiap malam, uang yang diperolehnya tidak mampu mencukupi kebutuhan yang harus dipenuhi. Belum lagi pandangan sinis orang-orang dikantornya yang mengecapnya sebagai perempuan penggoda tanpa sebab yang jelas. Terkadang terbersit dibenaknya untuk mengakhiri hidup ini. Namun bayangan Ibu dan kedua adiknya sering membuatnya berada dalam situasi dilematis antara bertahan dan tidak dalam kondisi yang sangat pahit itu.
Usianya yang hampir memasuki kepala tiga membuat orang-orang disekitarnya mulai menggunjingkan dirinya sebagai perawan tua dan tidak laku. Pernah satu kali ia pulang pagi karena kelelahan dan tertidur dikantor. Orang-orang langsung berkomentar dan menyangkanya macam-macam. Bibir-bibir manusia itu tidak pernah bisa berhenti membicarakan orang, terutama dirinya. “Tapi Ibu tidak boleh tahu akan hal itu” pikirnya. Kondisinya terlalu lemah dan rapuh setelah kematian Bapak. Suci harus menjadi perempuan tegar. Laki-laki bukanlah sosok manusia yang harus menjadi tempat bersandar baginya. Laki-laki bukanlah segalanya! Laki-laki baginya hanya akan membuatnya menjadi sosok yang lemah. Bapak memang teladan, tapi ketiadaannya telah membuat ibunya begitu tersiksa. Dan Aman bukanlah sosok membanggakan yang telah membuatnya teriris.
Suci sudah siap pergi ke kantor. Langit tampak begitu cerah, membuat semua orang bersemangat untuk melakukan aktifitas mereka. Tapi tidak bagi seorang Suci. Hari ini Ia malas sekali pergi ke kantor. Jika bukan karena keharusannya menghidupi keluarga, ingin sekali ia menemani ibunya di rumah. Ibu sendirian di rumah karena kedua adik Suci berangkat ke sekolah. Seandainya tiba-tiba Ibu…ah! Suci tak ingin berpikir macam-macam tentang ibunya. Suci mengecup tangan Ibu yang mulai keriput karena usia, kemudian berangkat ke kantor.
Diluar terlihat perempuan-perempuan penggosip sedang berkumpul di warung Bu Imas. Salah satu dari mereka kemudian menyapanya, “Neng Suci kok sudah berangkat? Biasanya pagi-pagi begini baru pulang…” Wajah Suci memerah padam menahan amarah. Belum sempat ia menjawab, perempuan yang lain menimpali. “Perawan kok pulang pagi…” Sahut perempuan itu sambil tersenyum kecut. Kali ini amarahnya benar-benar memuncak. Harga dirinya betul-betul diinjak-injak. Ingin sekali ia menyumpal mulut perempuan itu dan memotong lidahnya yang tak mau berhenti mengoceh sampai putus, kemudian melemparkannya pada Anjing yang sedang kelaparan! Namun kakinya semakin cepat bergerak menjauhi kerumunan perempuan-perempuan tadi menuju persimpangan tempat Ia biasa menunggu angkot. Salah satu dari perempuan tadi kemudian berteriak, “Namanya juga perempuan tua…!” Kemudian semuanya tertawa.
Tak ada gunanya menanggapi ocehan mereka, karena mereka tak membutuhkan tanggapan apapun. Yang mereka mau hanyalah melihatnya semakin terpuruk. Dan Suci tidak akan pernah menjadi apa yang nereka mau. Tidak akan pernah. “Dasar gila!” gumamnya ketus.
Waktu makan siang di kantor sudah tiba. Suci bangkit dari kursi kerjanya, kemudian melangkah keluar ruangan tempat ia bekerja. Sebuah suara tiba-tiba menghentikan langkahnya, “Suci…” Suci pun menoleh. “Sendiri aja Ci? Nggak gabung dengan yang lain?” tanyanya lagi. Suci tersenyum kecut. Semua orang dikantor ini juga sudah tahu kalau Ia tidak disukai, tertutama oleh teman-teman karyawan perempuan. “Mmh, gimana kalau kita makan siang sama-sama?” tanyanya lagi. “Saya biasa makan sendiri” Tolak Suci tiba-tiba. Ia sendiri bertanya-tanya mengapa ia bersikap seperti itu. Jauh dilubuk hatinya sesungguhnya Ia sangat membutuhkan seorang teman untuk berbagi dan menumpahkan segala beban yang menyesakkan dadanya. Namun ingatan akan sosok Aman membuatnya mengurungkan segalanya.
Laki-laki itu adalah Aji. Ia memang sering memperhatikan Suci dari balik mejanya. Seulas senyum tersungging di bibirnya ketika secara tidak sengaja mata mereka bertemu pandang. Tapi Suci buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Hari ini rupanya Suci harus lembur lagi. Berkas-berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan mejanya harus diselesaikan malam ini juga supaya besok pagi sudah siap dikoreksi.
Mata Suci tak kuat lagi menahan kantuk malam itu. Hujan turun dengan derasnya di luar. Ia bangkit dari kursinya dan mengenakan mantel untuk menghangatkan tubuhnya. Sesuatu tiba-tiba membuatnya terkejut. Sebuah sosok berdiri didepan pintu ruangan tempat ia bekerja. Suci tersentak kaget. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terbelalak menatap sosok yang bergerak-bergerak misterius seperti hantu. Lampu kantor memang sengaja ia padamkan, sehingga Ia tak begitu jelas melihat sosok hitam dibalik pintu itu. Perlahan Suci mendekat ke pintu. Rasa takut bukanlah sesuatu yang harus Ia pertahankan lagi. Gagang pintu tiba-tiba bergerak. Deritannya membuat bulu kuduk berdiri. Selebihnya Ia hanya mampu berdiri kaku menatap pintu yang perlahan terbuka.
“Aji…!” Bentak Suci kaget. Aji kemudian menyalakan lampu. “Aku sangat mencemaskanmu…” Suara Aji terdengar begitu berat. Tubuhnya basah kuyup karena kehujanan. Suci mundur beberapa langkah. “Apa yang dilakukan laki-laki ini dengan mendatangiku malam-malam begini, dengan tubuh basah kuyup seperti itu… ” Batinnya cemas. Aji menghampirinya, dan tiba-tiba mendekapnya erat. “Aku benar-benar mencemaskanmu…” Suara Aji mengiba. Suci tersentak kaget dan meronta. Tapi tubuhnya yang kecil dan lelah terlalu lemah untuk melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu. Suci semakin tak berdaya dan laki-laki itu semakin leluasa menjamah tubuhnya sampai akhirnya kelelahan.
Hujan diluar mereda. Menyisakkan keheningan malam yang dingin dan lembab. Jam berdentang dua kali menunjukkan pukul dua pagi. Sepasang mata menatap kosong ruangan kantor yang sunyi setelah sempat gaduh beberapa saat. Tubuhnya terbaring kaku dilantai. Dibalik wajahnya yang pucat, tergambar keputusasaan akan hidup. Matanya yang sayu dan lelah meneteskan setitik air mata. Entah air mata apa. Namun yang pasti, ingin sekali Ia segera menyambut pagi dan berlari pulang untuk berseru pada semua orang, “Aku bukan perawan tua lagi…!”
Filed under: FIKSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar